ISO 26000: Definisi, Prinsip, dan Penerapannya dalam CSR

ISO 26000: Definisi, Prinsip, dan Penerapannya dalam CSR

Di tengah era ketatnya persaingan bisnis global, tanggung jawab sosial perusahaan (CSR) telah menjadi topik yang semakin mendapat perhatian.

Organisasi di seluruh dunia semakin menyadari bahwa bisnis yang berkelanjutan tidak hanya tentang menghasilkan keuntungan, tetapi juga tentang dampak yang mereka miliki pada masyarakat dan lingkungan sekitarnya.

Salah satu alat yang sangat bermanfaat dalam upaya ini adalah ISO 26000, sebuah standar internasional yang memberikan panduan tentang bagaimana organisasi dapat menjalankan CSR secara efektif.

Melalui ulasan berikut ini, kita akan mengetahui apa itu ISO 26000, prinsip-prinsipnya, dan penerapannya dalam menjalankan program CSR maupun Tanggung Jawab Sosial Lingkungan (TJSL).

Apa Itu ISO 26000?

ISO 26000 adalah standar internasional yang diterbitkan oleh International Organization for Standardization (ISO) pada tahun 2010. Standar ini dikenal sebagai “Panduan tentang Tanggung Jawab Sosial” (Guidance on Social Responsibility) dan dirancang untuk membantu organisasi, termasuk perusahaan, pemerintah, maupun organisasi non-pemerintah, dalam mengintegrasikan tanggung jawab sosial ke dalam operasi mereka.

Penamaan Standar

Penamaan “ISO 26000” mengikuti pola penamaan standar internasional yang ditetapkan oleh International Organization for Standardization (ISO). Setiap standar ISO memiliki nomor identifikasi unik yang mencerminkan berbagai hal, termasuk bidang spesifik yang dicakup oleh standar tersebut.

Berikut penjelasan tentang penamaan “ISO 26000”:

  1. ISO: ISO adalah singkatan dari “International Organization for Standardization.” Kata “ISO” bukan singkatan dari bahasa Inggris seperti “International Standards Organization,” tetapi sebenarnya berasal dari kata Yunani “isos,” yang berarti “sama.” Ini menggambarkan tujuan ISO untuk menciptakan standar yang seragam dan dapat diterima secara global.
  2. 26000: Angka “26000” adalah nomor identifikasi unik untuk standar ini dalam sistem penomoran ISO. Sistem penomoran ISO mencakup beberapa serangkaian standar dalam berbagai bidang. Dalam kasus ISO 26000, ini adalah standar yang membahas tanggung jawab sosial.
    • “26” mengacu pada kategori standar yang mencakup manajemen bisnis (standar ini termasuk dalam kelompok “Manajemen dan Jaminan Mutu”).
    • “000” menunjukkan nomor identifikasi khusus untuk standar dalam kategori tersebut. Dalam hal ini, “000” mengindikasikan bahwa ini adalah standar pertama dalam kategori “Manajemen bisnis.”

Jadi, “ISO 26000” adalah nomor identifikasi yang diberikan kepada standar internasional yang membahas panduan tentang tanggung jawab sosial.

Standar ini memberikan panduan kepada organisasi tentang bagaimana mengintegrasikan tanggung jawab sosial ke dalam operasi dan strategi bisnis mereka, serta bagaimana berinteraksi secara bertanggung jawab dengan masyarakat dan lingkungan.

Prinsip-Prinsip ISO 26000

ISO 26000 berfokus pada 6 (enam) prinsip dasar tanggung jawab sosial yang dapat membimbing tindakan organisasi:

a. Akuntabilitas: Organisasi diharapkan untuk bertanggung jawab atas dampak sosial dan lingkungan dari keputusan dan aktivitas mereka.

b. Transparansi: Prinsip ini menuntut organisasi untuk berkomunikasi secara jelas dan jujur tentang praktek dan kinerja mereka dalam hal tanggung jawab sosial.

c. Keadilan: Organisasi diharapkan untuk memperlakukan semua pihak dengan adil, termasuk karyawan, konsumen, pemasok, dan komunitas.

d. Kepatuhan Hukum: ISO 26000 menekankan pentingnya mematuhi hukum dan peraturan yang berlaku dalam praktek bisnis.

e. Penghormatan terhadap Norma-norma Internasional: Organisasi diharapkan untuk menghormati norma-norma internasional dalam hal hak asasi manusia, lingkungan, dan lainnya.

f. Respek Terhadap Hak-hak Manusia: Prinsip ini mengingatkan organisasi untuk menghormati hak-hak manusia dalam semua aktivitas mereka.

Ruang Lingkup

ISO 26000 memberikan panduan terkait dengan 7 (tujuh) inti isu tanggung jawab sosial yang harus dipertimbangkan oleh organisasi:

a. Pemerintahan Perusahaan yang Baik: Prinsip-prinsip tata kelola perusahaan yang baik, seperti etika bisnis, transparansi, dan akuntabilitas.

b. Hak Asasi Manusia: Pemahaman dan penghormatan terhadap hak asasi manusia dalam semua aktivitas bisnis.

c. Praktik Ketenagakerjaan yang Baik: Fokus pada kesejahteraan karyawan, kesetaraan, dan kesempatan untuk pengembangan.

d. Lingkungan: Bagaimana aktivitas bisnis mempengaruhi lingkungan dan upaya untuk mengurangi dampak negatif.

e. Praktik Operasional yang Adil: Termasuk hubungan dengan pemasok dan upaya untuk memastikan keadilan dalam rantai pasokan.

f. Konsumen: Kualitas produk dan layanan, serta komunikasi yang jujur dan etis dengan konsumen.

g. Keterlibatan dengan Masyarakat dan Pembangunan: Bagaimana organisasi berinteraksi dengan komunitas lokal dan berkontribusi pada pembangunan yang berkelanjutan.

Penerapan dalam CSR

Sebagai seorang pelaksana dalam kegiatan CSR atau TJSL perusahaan, Anda dapat menggunakan ISO 26000 sebagai panduan untuk:

  • Mengidentifikasi isu-isu sosial dan lingkungan yang paling relevan dengan bisnis perusahaan.
  • Mengembangkan dan menilai program CSR yang sesuai dengan prinsip-prinsip tanggung jawab sosial.
  • Memperbaiki komunikasi dan pelaporan tentang upaya CSR kepada pihak luar.
  • Meningkatkan keterlibatan dengan stakeholder, termasuk karyawan, konsumen, dan komunitas lokal.
  • Meningkatkan transparansi dan akuntabilitas dalam operasi dan praktek bisnis.

Kesimpulan

ISO 26000 adalah alat penting bagi organisasi yang ingin menjalankan tanggung jawab sosial dengan baik. Ini bukan hanya tentang mematuhi aturan; ini adalah tentang menciptakan dampak positif pada masyarakat dan lingkungan sekitarnya.

Dengan mengadopsi prinsip-prinsip ini, perusahaan dapat berkontribusi pada dunia yang lebih baik seraya membangun bisnis yang berkelanjutan dan sukses. ISO 26000 adalah panduan berharga yang mengarahkan kita menuju masa depan yang lebih bertanggung jawab.

3 Strategi Kunci Penerapan Creating Shared Value (CSV)

3 Strategi Kunci Penerapan Creating Shared Value (CSV)

Istilah Corporate Social Responsibility (CSR) tentu tidak asing lagi di telinga para pengusaha. Khusus di BUMN, program ini biasanya disebut dengan Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan (TJSL). Baik CSR maupun TJSL, keduanya merupakan bentuk tanggung jawab sosial perusahaan terhadap masyarakat luas.

Namun, para pakar merasa bahwa CSR perlu didefinisikan ulang. Isu sosial tidak boleh lagi berseberangan dengan aktivitas perusahaan. Sebaliknya, operasional bisnis harus  pula mengembangkan hubungan mendalam dengan kesejahteraan sosial.

Karena itu, berkembanglah teori Creating Shared Value (CSV).

Konsep ini diperkenalkan pertama kali oleh Michael Porter dan Mark Kramer pada 2016 dalam artikel bertajuk ‘Harvard Business Review’. CSV kemudian dibahas kembali dalam artikel ‘Creating Shared Value’ pada 2011

Dalam artikel tersebut, keduanya mendefinisikan CSV sebagai kebijakan dan praktik yang meningkatkan daya saing perusahaan sekaligus kondisi masyarakat di lokasi perusahaan beroperasi. Kegiatan tersebut berfokus pada upaya mengidentifikasi, mengintegrasikan, serta memperluas hubungan sosial dan ekonomi.

Untuk mengimplementasikan CSV secara optimal, perusahaan setidaknya perlu menjalankan 3 strategi kunci. Berikut ulasannya!

1. Reconceiving Product and Market

Melalui langkah ini, perusahaan dapat memusatkan perhatian pada pemenuhan kebutuhan yang mudah diakses oleh seluruh elemen masyarakat. Contohnya, membuat inovasi produk yang bisa dijangkau oleh masyarakat ekonomi menengah ke bawah, tetapi tetap menghasilkan profit pula.

Di samping itu, perusahaan secara rutin perlu menganalisis apakah produk maupun layanan yang selama ini ditawarkan benar-benar bermanfaat, bernilai, dan dibutuhkan oleh mayoritas masyarakat.

2. Redefining Productivity in Value Chain

Perusahaan perlu bertanya, apakah bisnisnya secara simultan dapat meningkatkan produktivitas serta kemampuan sosial, lingkungan, dan ekonomi dari segi value chain.

Produktivitas dapat ditingkatkan dengan meminimalkan risiko serta memitigasi persoalan sosial maupun kondisi eksternal. Upaya mendongkrak produktivitas ini tentu melibatkan seluruh pihak. Mulai dari sumber daya, pemasok, dan karyawan.

3. Local Cluster Development

Menciptakan inovasi sekaligus mendorong produktivitas di segala sektor pastinya sulit diwujudkan sendiri. Perusahaan juga bergantung pada faktor eksternal, seperti lokasi bisnisnya, keberadaan supplier, penyedia jasa, serta infrastruktur logistik.

Atas dasar itulah, perusahaan semestinya mengembangkan klaster industri pendukung di sekitar lokasi. Porter dan Kramer juga meminta perusahaan untuk memperbaiki lingkungan eksternal, berinvestasi dalam kesejahteraan masyarakat, dan memperkuat ekonomi warga setempat.

***

CSV Dorong Kemandirian

Laba yang diperoleh perusahaan sembari melibatkan masyarakat dengan perusahaan yang mengabaikan dimensi sosial tentulah berbeda.

Perusahaan yang menerapkan CSV bukan hanya meningatkan nilai-nilai kompetitif usaha, melainkan secara bersamaan mendorong kemandirian masyarakat secara berkelanjutan.

Kehadiran konsep CSV diharapkan dapat memberantas kemiskinan dan kelaparan, meningkatkan kesehatan, menjamin daya dukung lingkungan hidup, serta meningkatkan kemitraan global untuk pembangunan.